SEBUAH PERTEMUAN

Pertemuan itu tunai. Di awal tahun sebelum pandemik. Tengah malam dan dingin. Singkat dan tercatat. Meninggalkan sebuah kamera dan satu negatif film yang belum di-scan. Entah percakapan apa yang membuat pertemuan itu akhirnya terjadi. Tak pernah lagi ditunggu, tak lagi diharapkan, tak lagi juga menjadi sebuah sajak-sajak yang tercetak di berlembar-lembar koran di tahun-tahun yang lampau.

Seperti itu saja. Mengalir. Sebuah jalinan yang semestinya, ya begitu saja. Barangkali. Tak lagi berani berharap lebih–karena rupanya perasaan tak lagi menjadi urusan penting.

Lekat cara dia memandang. Bagaimana dia bersuara dengan tenang nyaris tak terdengar. Dia yang tadinya kuragukan ada. Berdiri di depanku. Berkata-kata. Sedikit. Tersenyum sesimpul. Hal yang pernah aku nantikan untuk dilihat. Tapi berbicara dengannya dunia seolah berjalan dengan sederhana. Pelan, tapi tak tertinggal.

Di pertemuan berikutnya–sepanjang perjalanan Galaksi-Wastukencana, mendung dan hujan, Minggu yang lengang, dan dia yang membocengku. Pemandangan itu–sudah lama aku hapus dari jejak keinginan. Lantas di tahun yang penuh dengan keheningan dan kehilangan, dia datang. Tiba-tiba. Dan pergi juga seketika. Tapi tak perlu aku cari lagi.

Dia ada. Di sebuah pertemuan. Dengan jarak dan perasaan yang tak lagi aku risaukan. Tak perlu lagi aku pahami ini apa. Barangkali begitulah dunia mengajariku, merawat rasa.

Leave a comment